Manusia Sebagai Makhluk Berbudaya
1.1 Latar Belakang
Pada
hakekatnya manusia telah diberi anugrah oleh Allah SWT berupa akal dan nafsu,
akal dan nafsu inilah yang mendorong manusia untuk menciptakan sesuatu yang
dapat mewujudkan cita-cita atau penghargaannya. Dalam mewujudkan cita-cita
tersebut manusia telah menciptakan sains, teknologi dan seni sebagai salah satu
sarana sehingga sejak saat itu kehidupan manusia mulai berubah. Selain itu
sains, teknologi, dan seni juga telah mempengaruhi peradapan manusia dalam
kehidupannya terutama dalam bidang budaya.
Seiring
dengan perkembangan teknologi dan seni diharapkan dapat memberikan pengaruh
yang positif terhadap bidang-bidang lain, khususnya budaya yang menjadi
kebanggaan bangsa Indonesia .
Pemanfaatan kemajuan teknologi, dan seni secara baik haruslah diterapkan,
sehingga dapat menjaga kelestarian budaya bangsa.
Manusia tidak
dapat lepas dari kebudayaan, disebabkan kebudayaan merupakan cara beradaptasi
manusia dengan lingkungannya yang merupakan warisan sosial. Dan kebudayaan itu
sendiri bagi manusia berguna untuk mengatur hubungan antar manusia dan sebagai
wadah masyarakat menuju taraf hidup tertentu yang lebih baik, manusiawi, dan
berperi kemanusiaan.
Serta budaya merupakan sebuah peninggalan kakek dan nenek moyang kita yang harus kita lestarikan dan dibudayakan hingga nanti turun temurun dari generasi ke generasi kita selanjutnya.
Serta budaya merupakan sebuah peninggalan kakek dan nenek moyang kita yang harus kita lestarikan dan dibudayakan hingga nanti turun temurun dari generasi ke generasi kita selanjutnya.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian dan fungsi kebudayaan ?
2.
Bagaimana jenis dan ragam kebudayaan di lingkungan masyarakat ?
1.
Bagaimana fungsi akal dan budi manusia dalam menanggapi
pengembangan kebudayaan ?
2.
Bagaimana memperlakukan manusia melalui pemahaman terhadap
konsep dasar budaya ?
3.
Jelaskan proses dan perubahan budaya !
4.
Jelaskan problematika sosial kebudayaan !
1.3 Tujuan dan manfaat
Dalam penulisan makalah ini adalah bertujuan untuk memberikan kemudahan bagi setiap orang untuk
memahami segala aspek tentang kebudayaan seperti halnya : pengertian
kebudayaan, fungsi kebudayaan, jenis dan ragam kebudayaan, fungsi akal dan budi
dalam pengembangan kebudayaan, proses dan perubahan kebudayaan, serta
problematika sosial budaya.
Kita
sebagai subyek yang berperan utama mempunyai peranan yang sangat penting dalam
aspek sebagai pelaku budaya. Dengan kita menjaga kelestarian budaya maka kita
dapat melestarikan kebiasaan-kebiasaan yang membentuk pribadi kita
masing-masing. Budaya merupakan ciri khas dari suatu daerah yang menggambarkan
hubungan kebersamaan atau panutan di antara masyarakat setempat.
Dari banyak
ragam budaya yang ada masing-masing memiliki arti atau pengertian masing-masing
dari budaya tersebut. Dan cara melakukannya juga berbeda-beda, ini
menunjukkan bahwa budaya merupakan cerminan dari diri seseorang.
Banyak
manfaat yang kita peroleh dari kita mengikuti budaya, namun bukan budaya yang
menyimpang. Melainkan, budaya yang sudah kita tekuni mulai dari kita lahir yang
sudah menjadi kebiasaan dalam masyarakat setempat. Kebersamaan, gotong royong,
kekeluargaan dan hubungan timbal balik lainnya.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian dan Fungsi
Kebudayaan
2.1.1 Pengertian Kebudayaan
Kebudayaan
adalah salah satu istilah teoritis dalam ilmu-ilmu sosial. Secara umum,
kebudayaan diartikan sebagai kumpulan pengetahuan yang secara sosial diwariskan
dari satu generasi ke generasi berikutnya. Makna ini kontras dengan pengertian
kebudayaan sehari-hari yang hanya merujuk pada bagian tertentu warisan sosial,
yakni tradisi sopan santun dan kesenian. Istilah kebudayaan ini berasal dari
bahasa latin Cultura dari kata dasar colere yang berarti berkembang atau
tumbuh.
Dalam
ilmu-ilmu sosial istilah kebudayaan sesungguhnya memiliki makna bervariasi yang
sebagian diantaranya bersumber dari keragaman model yang mencoba menjelaskan
hubungan antara individu, masyarakat, dan kebudayaan.
Setiap
individu menjalankan kegiatan dan menganut keyakinannya sesuai dengan warisan
sosial atau kebudayaannya. Hal ini bukan semata-mata karena adanya sanksi
tersebut, atau karena mereka merasa menemukan unsur-unsur motivasional dan
emosional yang memuaskan dengan menekuni kegiatan-kegiatan dan keyakinan
cultural tersebut.
Dalam rumusan ini , istilah warisan
sosial disamakan dengan istilah kebudayaan. Lebih jauh, model tersebut
menyatakan bahwa kebudayaan atau warisan sosial lebih adaptif baik secara
sosial maupun individual, mudah dipelajari, mampu bertahan dalam waktu lama,
normative dan mampu menimbulkan motivasi. Namun tinjauan empiris terhadapnya
memunculkan definisi terbaru tentang kebudayaan seperti yang diberikan EB
Taylor, “Kebudayaan adalah keseluruhan kompleks yang
mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adab, serta kemampuan
dan kebisaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat”
Kebanyakan
ilmuwan sosial membatasi definisi kebudayaan sehingga hanya mencakup aspek
tertentu dari warisan sosial. Biasanya pengertian kebudayaan dibatasi pada
warisan sosial yang bersifat mental atau non fisik. Sedangkan aspek fisik dan
artefak sengaja disisihkan. Hanya saja definisi yang terlanjur berkembang
adalah definisi sebelumnya dimana kebudayaan diartikan bukan sekedar istilah
deskriptif bagi sekumpulan gagasan, tindakan dan obyek, melainkan juga merujuk
pada entitas-entitas mentalyang menjadi pijakan tindakan dan munculnya obyek
tertentu.
Consensus yang kini dianut oleh para
ilmuwan sosial masih menyisihkan aspek emosional dan motivasional dari istilah
kebudayaan, dan mereka tetap terfokus maknanya sebagai himpunan pengetahuan,
pemahaman atau proposisi. Namun mereka mengakui bahwa, sebagian
proposisikultural membangkitkan emosi dan motivasi yang kuat. Dalam kasus ini
proposisi tersebut dikatakan telah terinternalisasi.
Sebagian ilmuwan sosial bahkan
berusaha membatasi lagi pengertian istilah kebudayaan tersebut hingga hanya
“mencakup bagian-bagian warisan sosial yang melibatkan representasi atas
hal-hal yang dianggap penting, tidak termasuk norma-norma atau pengethauan
procedural mengenai bagaimana sesuatu harus dikerjakan” (Schneider,
1968)Sementara itu ada pula yang membatasi pegertian kebudayaan sebagai
makna-makna simbolik yang mengandung muatan representasi dan
mengkomunikasikannya dengan peristiwa nyata. Geertz menggunakan makna ini secara eksklusif
sehingga ia tidak saja mengesampingkan aspek-aspek afektif, motivasional, dan
normative dari warisan sosial namun juga mempermasalahkan penerapan makna
kebudayaan dalam individu. Menurutnya, “kebudayaan hanya berkaitan dengan
makna-makna public yang terus berlaku meskipun berada diluar jangkauan
pengetahuan individu ; contohnya mungkin adala lajabar yang dianggap selalu
benar dan berlaku, meski sedikit saja orang yang menguasainya”. dari definisi
kebudayaan itu mengandung argumen-argumen implisit tentang sebab-sebab atau
asal mula warisan sosial. Misalnya saja ada kontroversi mengenai koheren atau
tidaknya kebudayaan itu sehingga lebih lanjut kita dapat mempertanyakan sifat
alamiahnya. Disisi lain para ilmuwan sosial memendang keragaman dan kontradiksi
di seputar pengertian atau definisi kebudayaan itu sebagai sesuatu yang wajar.
Meskipun hamper setiap elemen kebudayaan dapat ditemukan pada hubungan-hubungan
natar elemen seperti yang ditunjukkan oleh Malinowski dalam Argonauts of the Western Pacifis (1922). Tidak banyak bukti yang mendukung
dugaan akan adanya pola tunggal hubungan tersebut seperti yang dikemukakan oleh
Ruth Benedict dalam bukunya Pattern of Culture (1934).
Berbagai persoalan yang melingkupi
upaya intergrasi definisi-definisi kebudayaan terkait dengan masalah lain,
yakni apakan kebudayaan itu merupakan suatu entitas padu atau tidak. Jika
kebudayaan dipandang sebagai suatu kumpulan elemen yang tidak memebentuk
kesatuan koheren, maka yang harus diperhitungkan adalah fakta bahwa
warisan sosial senantiasa melebur dalam suatu masyarakat. Sebaliknya jika kita
menganggap kebudayaan itu sebagai suatu kesatuan koheren, maka kumpulan
elemen-elemennya bisa dipisahkan dan dibedakan satu sama lain.
Kerancuan tersebut lebih jauh
membangkitkan minat untuk menelaah koherensi dan integrasi kebudayaan,
mengingat dalam kenyataannya pengetahuan anggota masyarakattentang kebudayaan
mereka tidaklah sama. Hanya saja tidak ada metodeyang telah terbukti handal
untuk mengukur sejauh mana koherensi dan integrasi sebuah kebudayaan. Bahkan
muncul bukti-bukti yang menunjukkan bahwa elemen-elemen budaya cenderung dapat
digolongkan menjadi dua bagian besar. Pertama adalah sejumlah kecil elemen yang
hampir dipunyai oleh semua anggota masyarakat sehingga diantara mereka dapat
tercipta suatu hubungan yang saling pengertian. (misalnya lampu merah
berarti tanda berhenti), sedangkan yang keduaadalah elemen-elemenkultural
yang hanya diketahui oleh sebagian anggota masyarakat yang menyandang status
sosial tertentu.(misalnya, pelanggaran ketentuan kontrak tidak bisa diterima)
Dibalik kerancuan definisi ini
terdapat masalah-masalah penting lainnya yang juga harus dipecahkan. Keragaman
definisi kebudayaan itu sendiri dapat dipahami sebagai giatnya upaya mengungkap
hubungan kausalitas antara berbagai elemen warisan sosial. Sebagai contoh ,
dibalik pembatasan definisi kebudayaan pada aspek-aspek presentasional dari
warisan sosial itu terletak hipotesis yang menyatakan bahwa norma-norma, reaksi
emosional, motivasi dan sebagainya sangat ditentukan oleh kesepakatan awal
tentang keberadaan, hakekat dan label atas sesuatu hal. Misalnya saja norma
kebersamaan dan perasaan terikat dalam kekerabatan hanya akan tercipta jika ada
system kategori yang membedakan kerabat dan non kerabat. Demikian pula definisi
cultural kerabat sebagai ‘orang-orang yang memiliki hubungan darah’
mengisyaraktkan adanya kesamaan identitas yang memudahkan pembedaannya. Jika
representasi cultural memang memiliki hubugan kausalitas dengan norma-norma,
sentiment dan motif, maka pendefinisian kebudayaan sebagai representasi telah
memusatkan perhatioan pada apa yang paling penting. Hanya saja keuntungan dari
focus yang tajam itu dipunahkan oleh ketergantungan definisi itu terhadap
asumsi-asumsi yang melandasinya, yang acap kali kelewat sederhana.
Komponen utama kebudayaan :
·
Individu
·
Masyarakat
·
alam
Dari catatan Supartono, 1992, terdapat 170 definisi kebudayaan.
Catatan terakhir Rafael Raga Manan ada 300 buah, beberapa diantaranya :
·
Ki Hajar Dewantara
Kebudayaan
berarti buah budi manusia adalah hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh
kuat, yakni zaman dan alam yang merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk
mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran didalam hidup dan penghidupannya
guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada lahirnya bersifat tertib
dan damai.
·
Robert H Lowie
Kebudayaan adalah segala sesuatu yang diperoleh individu dari masyarakat,
mencakup kepercayaan, adat istiadat, norma-norma artistic, kebiasaan makan,
keahlian yang diperoleh bukan dari kreatifitasnya sendiri melainkan merupakan
warisan masa lampau yang didapat melalui pendidikan formal atau informal
·
Keesing
Kebudayaan adalah totalitas pengetahuan manusia, pengalaman yang terakumulasi
dan yang ditransmisikan secara sosial
·
Koentjaraningrat
Kebudayaan berarti keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakan
dengan belajar beserta keseluruhan dari hasil budi pekertinya
·
Rafael Raga Manan
Kebudayaan adalah cara khas manusia beradaptasi dengan lingkungannya, yakni
cara manusia membangun alam guna memenuhi keinginan-keinginan serta tujuan
hidupnya, yang dilihat sebagai proses humanisasi.
·
Selo Soemardjan dan Soelaeman
Soemardi
Kebudayaan
merupakan hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Karya masyarakat
menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah.
2.1.2 Fungsi kebudayaan
Kebudayaan
mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat. Bermacam
kekuatan yang harus dihadapi masyarakat dan anggota-anggotanya seperti kekuatan
alam, maupun yang bersumber dari persaingan manusia itu sendiri untuk
mempertahankan kehidupannya. Manusia dan masyarakat memerlukan pula kepuasan
baik dibidang materiil maupun spiritual. Kebutuhan-kebutuhan tersebut diatas,
untuk sebagian besar dipenuhi oelh kebudayaan yang bersumber dari masyarakat
itu sendiri. Hasil karya masyarakat menghasikan teknologi atau kebudayaan
kebendaan yang mempunyai kegunaan utama melindungi masyarakat terhadap
lingkungan. Pada masyarakat yang taraf kebudayaannya lebih tinggi,
teknologi memungkinkan untuk pemanfaatan hasil alam bahkan munghkin untuk
menguasai alam. Di sisi lain karsa masyarakat mewujudkan norma dan nilai-nilai
sosial yang sangat perlu untuk mengadakan tata tertib dalam pergaulan
masyarakatnya.
Kebudayaan
berguna bagi manusia untuk melindungi diriterhadap alam, mengatur hubungan
antar manusia, dan sebagai wadah dari segenap perasaan manusia. Kebudayaan akan
mendasari, mendukung, dan mengisi masyarakat dengan nilai-nilai hidup untuk
dapat bertahan, menggerakkan serta membawa masyarakat kepada taraf hidup
tertentu yaitu hidup yang lebih baik, manusiawi, dan berperi-kemanusiaan.
2.2 Jenis dan Ragam Kebudayaan di
Masyarakat
Mohammad Yusuf Melatoa dalam Ensiklopedia Suku Bangsa Di Indonesia menyatakan Indonesia terdiri dari 500
etnis suku bangsa yang tinggal di lebih dari 17.000 pulau besar dan kecil.
Mereka masing-masing memiliki kebudayaan yang berbeda dengan yang lainnya.
Perbedaan itu dalam kita lihat dengan menelaah unsur-unsur kebudayaan seperti
dibawah ini.
Unsur-unsur kebudayaan menurut C
Kluckhohn dalam bukunya Universal
Categories of Culture meliputi Cultural
universals yaitu :
a.
Peralatan dan perlengkapan hidup ( pakaian, perumahan, alat-alat produksi,
transportasi)
b. Mata pencaharian hidup dan sistem ekonomi
(pertanian, peternakan, sistem produksi, distribusi )
c Sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan,
organisasi politik, sistem hukum, perkawinan)
d Bahasa (lisan maupun tertulis)
e Kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak
dll)
f Sistem pengetahuan
g Religi
(system kepercayaan)
Cultural universals tersebut dapat dijabarkan lagi kedalam
unsure-unsur yang lebih kecil. Ralph Linton menyebutnya kegiatan-kegiatan
kebudayaan atau cultural activity. Sebagao contoh cultural universals
pencaharian hidup dan ekonomi antara lain mencakup kegiatan-kegiatan seperti
pertanian, peternakan, system produksi, dll. Kesenian misalnya meliputi
kegiatan seni tari, seni rupa dll. Selanjutnya Ralph Linton merinci
kegiatan-kegiatan kebudayaan tersebut menjadi unsure-unsur yang lebih kecil
lagi yang disebutnya trait-complex. Misalnya kegiatan pertanian menetap
meliputi unsure-unsur irigasi, sistem pengolahan tanah dengan bajak, system hak
milik atas tanah, dan sebagainya. Selanjutnya trait complex mengolah tanah dengan bajak akan dapat
dipecah ke dalam unsure yang lebih kecil umpamanya hewan-hewan yang menarik bajak,
teknik pengendalian bajak, dan sebagainya.
Akhirnya sebagai unsur kebudayaan
yang terkecil membentuk trait adalah items. Bila diambil contoh alat bajak terdiri
dari gabungan alat-alat yang lebih kecil yang dapat dilepaskan, tetapi pada
hakekatnya merupakan satu kesatuan. Apabila salah satu bagian bajak tersebut
dihilangkan, maka tak dapat menjalankan fungsinya sebagai bajak.
Ciri Kebudayaan :
·
Bersifat menyeluruh
·
Berkembang dalam ruang / bidang geografis tertentu
·
Berpusat pada perwujudan nilai-nilai tertentu
Wujud kebudayaan
·
Ide : tingkah laku dalam tata hidup
·
Produk : sebagai ekspresi pribadi
·
Sarana hidup
·
Nilai dalam bentuk lahir
Sifat kebudayaan
·
Beraneka ragam
·
Diteruskan dan diajarkan
·
Dapat dijabarkan :
– Biologi
– Psikologi
– Sosiologi :
manusia sebagai pembentuk kebudayaan
·
Berstruktur terbagi atas item-item
·
Mempunyai nilai
·
Statis dan dinamis
·
Terbagi pada bidang dan aspek
2.3 Fungsi Akal Dan Budi Manusia Dalam Pengembangan Budaya
Akal adalah kemampuan pikir manusia sebagai kodrat
alami yang dimiliki manusia. Berpikir adalah perbuatan operasional yang
mendorong untuk aktif berbuat demi kepentingan dan peningkatan hidup manusia.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa fungsi akal adalah untuk berfikir.
Kemampuan berfikir manusia mempunyai fungsi mengingat kembali apa yang telah
diketahui sebagai tugas dasarnya untuk memecahkan masalah dan akhirnya
membentuk tingkah laku.
Budi adalah akal yang merupakan unsur rohani dalam
kebudayaan. Budi diartikan sebagai batin manusia, panduan akal dan perasaan
yang dapat menimbang baik buruk segala sesuatu.
Jadi
jelas bahwa fungsi akal dan budi manusia adalah menunjukkan martabat manusia
dan kemanusiaan sebagai pemegang amanah makhluk tertinggi di alam raya ini.
Kegiatan-kegiatan
yang dipelajari itu merupakan salah satu bagian dari kebudayaan masyarakat
secara keseluruhan. Didalamnya juga termasuk artefak dan berbagai kontruksi
proporsi kompleks yang terekspresikan dalam system symbol yang kemudian
terhimpun dalam bahasa. Melalui symbol-simbol itulah tercipta keragaman entitas
yang sangat kaya yang kemudian disebut sebagai obyek konstruksi cultural
sepoerti uang, system kenegaran, pernikahan, permainan, hukum, dan sebagainya,
yang keberadaannya sangat ditentukan oleh kepatuhan terhadap system aturan yang
membentuknya. System gagasan dan simbolik warisan sosial itu sangatlah penting
karena kegiatan-kegiatan adaptif manusia sedemikian kompleks dan beragam
sehingga mereka tidak bisa mempelajari semuanya sendiri sejak awal. Serta
manusia juga memiliki kemampuan daya sebagai berikut :
·
Akal, intelegensia dan intuisi
Dengan
kadar intelegensia yang dimiliki manusia mampu belajar sehingga menjadi cerdas,
memiliki pengetahuan dan mampu menciptakan teknologi. Intuisi menurut Supartono
sering setengah disadari, tanpa diikuti proses berfikir cermat, namun bisa
menuntun pada suatu keyakinan.
·
Perasaan dan emosi
Perasaan
adalah kemampuan psikis yang dimiliki seseorang, baik yang berasal dari
rangsangan di dalam atau diluar dirinya. Emosi adalah rasa hati, sering
berbentuk perasaan yang kuat, yang dapat menguasai seseorang, tetapi tidak
berlangsung lama
·
Kemauan
Kemauan
adalah keinginan, kehendak untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Kemauan
dalam arti positif adalah dorongan kehendak yang terarah pada tujuan hidup yang
dikendalikan oleh akal budi.
·
Fantasi
Fantasi
adalah paduan unsur pemikiran dan perasaan yang ada pada manusia untuk
menciptakan kreasi baru yang dapat dinikmati.
·
Perilaku
Perilaku
adalah tabiat atau kelakuan, merupakan jati diri seseorang yang berasal dari
lahir sebagai factor keturunan yang kemudian diwarnai oleh factor
lingkungannya.
·
Tahap eksternalisasi, yaitu proses pencurahan diri
manusia secara terus menerus kedalam dunia melalui aktifitas fisik dan mental
·
Tahap obyektifitas, yaitu tahap aktifitas manusia
menghasilkan realita obyektif, yang berada diluar diri manusia
·
Tahap internalisasi, yaitu tahap dimana realitas
obyektif hasil ciptaan manusia dicerap oleh manusia kembali.
Manusia
sebagai makhluk budaya adalah pencipta kebudayaan. Kebudayaan adalah ekspresi
eksistensi manusia didunia.
2.4 Memperlakukan manusia melalui
pemahaman terhadap konsep budaya dasar
Berbagai cara
untuk memanusiakan manusia :
2.4.1.1 Keadilan
Keadilan
adalah salah satu moral dasar bagi kehidupan manusia. Keadilan mengacui pada
suatu tindakan baik yang mesti dilakukan oleh setiap manusia.
2.4.1.2 Penderitaan
Penderitaan
adalah teman paling setia kemanusiaan. Ini melengkapi cirri paradoksal yang
menandai eksistensi manusia didunia.
2.4.1.3 Cintakasih
Cintakasih
adalah perasaan suka kepada seseorang yang disertai belas kasihan. Cinta
merupakan sikap dasar ideal yang memungkinkan dimensi sosial manusi menemukan
bentuknya yang khas manusiawi
2.4.1.4 Tanggungjawab
Tanggungjawab
adalah kwajiban melakukan tugas tertentu yang dasarnya adalah hakikat
keberadaan manusia sebagai makhluk yang mau menjadi baik dan memperoleh
kebahagiaan.
2.4.1.5 Pengabdian
Pengabdian
diartikan sebagai perihal memperhamba diri kepada tugas-tugas yang dianggap
mulia
2.4.1.6 Pandangan hidup
Pandangan
hidup berkenaan dengan eksistensi manusia didunia dalam hubungannya dengan
Tuhan, dengan sesame dan dengan alam tempat kita berdiam.
2.4.1.7 Keindahan
Eksistensi
manusia didunia diliputi dan digairahkan oleh keindahan. Manusia tidak hanya
penerima pasif tetapi juga pencipta keindahan bagi kehidupan.
2.4.1.8 Kegelisahan
Kegelisahan
merupakan gambaran keadaan seseorang yang tidak tenteram hati maupun
perbuatannya, merasa khawatir tidak tenang dalam tingkah laku, dan merupakan
salah satu ekspresi kecemasan.
2.5 Proses dan Perubahan Kebudayaan
Proses pembudayaan adalah tindakan yang menimbulkan dan menjadikan
sesuatu lebih bermakna untuk kemanusiaan. Proses tersebut diantaranya :
1.
a. Internalisasi
Merupakan proses pencerapan realitas obyektif dalam kehidupan manusia.
1.
b. Sosialisasi
Proses interaksi terus menerus yang memungkinkan manusia memperoleh identitas
diri serta ketrampilan-ketrampiulan sosial. Dalam keseharian sosialisasi bisa
dikatakan sebagai proses menjelaskan sesuatu kepada anggota masyarakat agar
mengetahui adanya suatu konsep, kebijakan, suatu peraturan yang menyangkut hak
dan kwajiban mereka.
1.
c. Enkulturasi
Enkulturasi adalah pencemplungan seseorang kedalam suatu lingkungan kebudayaan,
dimana desain khusus untuk kehidupan kelihatan sebagai sesuatu yang alamiah
belaka.
1.
d. Difusi
Meleburnya suatu kebudayaan dengan kebudayaan lain sehingga menjadi satu
kebudayaan.
1.
e. Akulturasi
Akulturasi adalah percampuran dua atau lebih kebudayaan yang dalam percampuran
itu masing-masing unsurnya masih kelihatan.
1.
f. Asimilasi
Asimilasi
adalah proses peleburan dari kebudayaan satu ke kebudayaan lain.
Perubahan sosial dan
kebudayaan merupakan
segala perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suataau
masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk didalamnya
nilai-nilai, sikap-sikap, dan pola-pola perilaku diantara kelompok-kelompok
dalam masyarakat.
Setiap
masyarakat selama hidupnya pasti mengalami perubahan, perubahan bagi masyarakat
yang bersangkutan maupun bagi orang luar yang menelaahnya, dapat berupa
perubahan-perubahan yang tidak menarik dalam arti kurang mencolok. Ada pula
perubahan-perubahan yang pengaruhnya terbatas maupun luas, serta ada pula
perubahan-perubahan yang lambat sekali, akan tetapi ada juga yang cepat.
Perubahan-perubahan
dalam masyarakat dapat mengenai nilai-nilai sosial, pola-pola perilaku,
organisasi, susunan, lembaga-lembaga kemasyarakatan, lapisan-lapisan dalam
masyarakat, kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial dan seterusnya. Dengan
diakuinya dinamika sebagai inti jiwa masyarakat, maka banyak sarjana sosiologi
modern yang mencurahkan perhatiannya pada masalah-masalah perubahan sosial dan
kebudayaan dalam masyarakat. Masalah tersebut menjadi lebih penting dalam
hubungannya dengan pembangunan ekonomi yang diusahakan oleh banyak masyarakat
dari Negara yang kemerdekaan politiknya setelah perang dunia kedua.
Faktor-faktor penyebab perubahan sosial dan kebudayaan
a. faktor intern
¯
Bertambah atau berkurangnya penduduk
¯
Penemuan-penemuan baru (inovation – discoveri [gagasan] – invention [diterapkan
dalam masyarakat]
¯
Pertentangan-pertentangan dalam masyarakat (konflik)
¯
Pemberontakan / revolusi
b. faktor ekstern
¯
Perubahan lingkungan fisik manusia ( bencana alam )
¯
Pengaruh kebudayaan masyarakat lain
¯
Peperangan
Faktor-faktor yang mempengaruhi jalannya proses perubahan sosial :
v Faktor-faktor yang mendorong :
·
Kontak dengan kebudayaan lain
·
Sistem pendidikan yang maju
·
Sikap menghargai hasil karya orang lain dan keinginan untuk maju
·
Toleransi terhadap perbuatan menyimpang
·
Sistem lapisan masyarakat yang terbuka
·
Penduduk yang heterogen
·
Ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang-bidang kehidupan
tertentu
·
Orientasi ke depan
·
Nilai meningkatkan taraf hidup
v Faktor-faktor yang menghambat :
·
Kurangnya hubungan dengan masyarakat lain
·
Perkembangan ilmu pengetahuan yang lambat
·
Sikap masyarakat yang tradisional
·
Adanya kepentingan-kepentingan yang telah tertanam dengan kuat
(vested Interest)
·
Rasa takut terjadinya kegoyahan dalam integrasi kebudayaan
·
Prasangka terhadap hal baru
·
Hambatan ideologis
·
Kebiasaan
·
Sikap pasrah
2.5 Problematika sosial kebudayaan
Manusia dan Budaya Unggul
Buku
Stephen R Covey berjudul The 8th Habit: From Effectiveness to Greatness
setidaknya menjadi pemicu diskusi tentang budaya unggul akhir-akhir ini. Para cerdik cendekia pun ribut mencari apa yang
sebenarnya unggul dalam diri kita dan apa memang ada keunggulan itu. Tidak
main-main, bahkan Bapak Presiden merasa perlu menyampaikan kepada rakyatnya
untuk melahirkan budaya unggul dalam bangsa ini.
Dalam
maksud yang sederhana, budaya unggul akan bisa memulihkan harga diri dan
martabat bangsa ini menjadi bangsa yang tidak mudah dilecehkan dan diharapkan
mampu mengatasi krisis berkepanjangan dan seterusnya. Jika budaya unggul bisa
didiskusikan bersama seiring dengan manusia unggul, setidaknya apa yang
dinyatakan oleh Covey sebagai manusia dengan predikat greatness membawa ingatan
kita pada apa yang oleh filosof Jerman, Friedrich Wilhelm Nietzsche
(1844-1900), dinyatakan sebagai uebermensch yang dalam bahasa Inggris sering
diterjemahkan sebagai superman. Kebudayaan merupakan identitas dari manusia.
Untuk
melahirkan budaya unggul, terlebih dahulu manusia harus bisa menjawab tantangan
yang ada dalam dirinya sendiri. Manusia unggul tidak lahir dari situasi statis,
melainkan dari proses dinamis. Tidak saja dalam pengertian bagaimana upaya
menemukan talenta terbaik dalam diri seseorang, melainkan upaya untuk
terus-menerus menjadi manusia yang lebih (over).
Dalam
pengertian ini, Ignas Kleden (2004) menyatakan bahwa manusia hanya akan
berhasil menjadi manusia melalui proses ueberwindung atau overcoming (dalam
bahasa Inggris). Anjuran untuk berproses menjadi manusia unggul sudah
dinyatakan dengan amat jelas dalam Also Sprach Zarathustra. Jelas sekali ketika
Nietzsche menulis bahwa pertanyaan pertama dan satu-satunya yang dianjurkan
oleh Zarathustra adalah Wie Wird der Mensch ueberwubden (bagaimana caranya
manusia mengatasi manusia).
Pengertiannya,
untuk lahir sebagai superman, manusia harus terus-menerus mengatasi dirinya
sebagai manusia. Untuk menjadi manusia unggul, manusia harus bisa meningkatkan
dirinya dari sekadar manusiawi (humanus) menjadi lebih manusiawi (humanior).
Manusia unggul keluar dari proses dinamis dan penuh tantangan, manusia yang
bisa menggunakan kehendak dan kuasanya untuk mengatasi rasa lemahnya. Nietzsche
adalah filsuf yang begitu yakin bahwa manusia harus berdiri di atas sifat-sifat
konkretnya.
Manusia
bukanlah suatu konsep abstrak sebagaimana dipahami oleh kaum idealis atau juga
kaum materialis. Keduanya sering melahirkan pandangan-pandangan dunia yang
bersifat statis. Padahal, hidup dan kehidupan itu sendiri merupakan sesuatu
yang dinamis dan bergerak terus-menerus. Bukankah Nietzsche sendiri menyatakan,
man is something that is to be surpassed (Manusia adalah sesuatu yang harus
dilampaui). Atau dengan yakin ia menyatakan, what is great in man is that he is
a bridge and not a goal; what is lovable in man is that he is an over- going
and down-going ( Apa yang agung dalam diri manusia adalah bahwa dia adalah
jembatan dan bukan tujuan; apa yang patut dicinta dalam diri manusia adalah
bahwa dia adalah perjalanan naik dan turun ).
Melahirkan
manusia unggul jangan disalahpahami hanya dengan pengertian meloloskan
siswa-siswa berprestasi yang mampu merengkuh juara olimpiade fisika,
matematika, atau kimia. Menjadi manusia unggul biasa dialami oleh siapa saja
yang mampu mengatasi kediriannya menuju kedirian yang lebih. Sifat serakah dan
senang korupsi adalah manusiawi dan bahkan menjadi bagian tak terpisah dari
manusia. Untuk lahir menjadi manusia unggul, seseorang harus bergerak untuk
memperbarui kemanusiawiannya menjadi lebih manusiawi dengan menjelma menjadi
manusia yang tidak serakah dan senang korupsi.
Seorang
pejabat akan bernilai lebih jika setiap saat dia berhasil mengawasi dan menekan
nafsu korupsinya. Dalam mengarungi bahtera kehidupan yang nyata itulah manusia
diberi kuasa untuk memikul tanggung jawab atas dirinya sendiri. Dia harus
menciptakan nilai-nilai untuk dirinya sendiri pada saat perjalanan kehidupan
tersebut.
Di
sini dapat dipahami mengapa Nietzsche amat membenci pada mereka yang mudah
menyerahkan diri pada skema nilai-nilai yang diciptakan di luar dirinya
sendiri. Nietzsche menyebut mereka sebagai “manusia bermoral gerombolan” atau
“bermoral budak”. Mereka adalah para pengecut yang hanya bisa berlindung di
balik nilai-nilai yang menjerat kedigdayaannya.
“The
ignorant, to be sure, the people-they are like a river on which a boat floateth
along; and in the boat sit the estimates of value, solemn and disguised”.
Mereka seperti sebuah sungai yang di atasnya mengambang sebuah perahu; dan di
dalam perahu itu duduk nilai yang dihargai, penuh kemeriahan dan samaran.
Manusia
unggul, jika mau merujuk pada Nietzsche, bisa lahir dan dilahirkan dari manusia
yang tak lagi menggantungkan diri segala tekanan dari luar. Dengan tidak
memperpanjang segala kontroversi pendapat Nietzsche, budaya unggul dalam
perspektif ini bisa dijadikan rujukan untuk mengembalikan jati diri dan
martabat kebangsaan yang hancur di tengah keserakahan modal, penguasa, utang
luar negeri, bahkan terorisme.
Komodifikasi kebudayaan
Kedua, berkebalikan dengan yang pertama, yaitu jalur
keprihatinan terhadap budaya bangsa. Dia mendapat ekspresi dalam dua sub lagu
yang bersama menghasilkan paduan suara atau duet harmoniselite yang prihatin. Sub
lagu yang pertama disebut
lagu museum ; unsure-unsur positif warisan budaya bangsa perlu dilestarikan.
Disini termasuk pakaian nasional, tari-tarian, sopan santun ketimuran,
kekeluargaan, gotong royong dan lain-lain. Dengan menetapkan apa yang termasuk
budaya bangsa, elite menetapkan kelakuan masyarakat yang mana sesuai dan yang
mana tidak sesuai.
Sub-lagu yang kedua mau melindungi budaya nasional terhadap pengeruh
buruk dari luar. Elite yang menganggap diri berwenang untuk menetapkan
sikap-sikap mana yang tidak sesuai dengan budaya bangsa. Disini kita
mendengarkan bahwa bangsa Indonesia
tidak mengenal oposisi, bahwa masyarakat kita bermusyawarah daripada
memperjuangkan hak-haknya, tidak bersikap konfrontatif, bahwa bertindak
berdasarkan keyakinan sendiri adalah individualisme, dan oleh karena itu asing.
Hal-hal
diatas secara tegas menyatakan bahwa demi budaya bangsa elitelah yang sebaiknya
menentukan arah pembangunan.
Tantangan Kebudayaan
Masyarakat
kita yang berbudaya akan beruntung apabila mengenal dan akrab dengan beberapa
kebudayaan barat. Sama dengan orang barat yang mengenal dan mencintai
kebudayaan-kebudayaan Timur. Pertemuan dengan kebudayaan lain selalu memperkaya
kita sendiri. Mengagumi karya karya seni Italia, atau menelusuri filsafat
Perancis bagi orang timur pasti sangat rewarding. Yang pasti menarik,
pelancongan ke dalam kebudayaan lain tidak cenderung memiskinkan persepsi
tentang kebudayaan sendiri, melainkan memperkaya.
Kebudayaan yang sungguh-sungguh
mengancam kita adalah kebudayaan modern tiruan. Dia mengancam karena tidak
sejati, tidak substansial, semu, dan ersatz. Kebudayaan itu membuat kita
menjadi manusia plastic, manusia tanpa kepribadian, manusia terasing, manusia
kosong, manusia latah.
Kebudayaan
tiruan itu mempunyai daya tarik luarbiasa sehingga mampu menyedot pandangan kita
tentang nilai, dasar harga diri, dan status. Ia menawarkan kemewahan, kepenuhan
hidup, kemantapan diri, asal kita mau berpikir sendiri, dan berhenti membuat
penilaian sendiri. Kebudayaan yang dikatakan modern itu membuat kita lepas dari
kebudayaan tradisional kita sendiri, dan sekaligus tidak menyentuh kebudayaan
teknologis modern yang sesungguhnya. Akhirnya kita hanya seolah-olah menjadi
manusia modern.
PERKEMBANGAN ALAM PIKIRAN MANUSIA
Manusia
sebagai HOMO SAPIENS :
Homo SAPIENS adalah mahluk yang berpikir
sehingga merupakan mahluk yang cerdas dan bijaksana. Dengan daya pikirnya
manusia dapat berpikir apakah yang sebaiknya dilakukan pada masa sekarang atau
masa yang akan datang berdasar kan
pertimbangan masa lalu yang merupakan pengalaman. Pemikiran yang sifatnya
abstrak merupakan salah satu wujud budaya manusia yang kemudian diikuti wujud
budaya lain, berupa tindakan atau perilaku, ataupun kemampuan mengerjakan suatu
tindakan.
Manusia
sebagai HOMO FABER:
Homo Faber
: artinya manusia dapat membuat alat-alat dan mempergunakannya atau disebut
sebagai manusia kerja dengan salah satu tindakan atau wujud budayanya berupa
barang buatan manusia (artifact). Manusia menciptakan alat-alat karena
menyadari kemampuan inderanya terbatas, sehingga diupayakan membuat peralatan
sebagai sarana pembantu untuk mencapai tujuan. Misalnya, karena indera matanya
tidak mampu melihat angkasa luar atau mahluk kecil-kecil maka diciptakan
teropong bintang dan mikroskop, karena terbatasnya kekuatan fisik maka
diciptakannya roda sebagai sarana utama keretauntuk mengangkut barang-barang
berat.
Manusia
sebagai HOMO LANGUENS:
Homo
Languens: adalah manusia dapat berbicara sehingga apa yang menjadi pemikiran
dalam otaknya dapat disampaikan melalui bahasa kepada manusia lain. Bahasa sebagai
ekspresi dalam tingkat biasa adalah bahasa lisan. Antara suku bangsa dengan
suku bangsa lain terdapat perbedaan bahasa. Di tingkat bangsa, perbedaan bahasa
tersebut akan semakin jauh. Perbedaan lebih tinggi diwujudkan dalam tulisan
sehingga sebuah pemikiran dapat diterima oleh bangsa atau generasi bangsa lain
(bila tahu mengartikannya).
Manusia
sebagiai HOMO SOCIUS:
Manusia
sebagai HOMO SOCIUS artinya manusia dapat hidup bermasyarakat, bukan
bergerombol seperti binatang yang hanya mengenal hukum rimba, yaitu yang kuat
yang berkuasa. Manusia bermasyarakat diatur dengan tata tertib demi kepentingan
bersama. Dalam masyarakat manusia terjadi tindakan tolong-menolong. Dengan
tindakan itu, walaupun fisiknya relatif lemah, tetapi dengan kemampuan nalar
yang panjang tujuan-tujuan bermasyarakat dapat dicapai.
Manusia sebahai HOMO ECCONOMICUS
Artinya manusia dapat mangadakan usaha atas dasar perhitungan ekonomi (homo
economicus). Salah satu prinsip dalam hukum ekonomi adalah, bahwa semua
kegiatan harus atas dasar untung-rugi, untung apabila input lebih besar
daripada output, rugi sebaliknya. Dalam tingkat sederhana manusia mencukupi
kebutuhannya sendiri, kemudian atas dasar jasa maka dikembangkan sistem pasar
sehingga hasil produksinya dijual di pasaran. Makin luas pemasaran barang makin
banyak diperoleh keuntungan. Salah satu usaha meningkatkan produktivitas kerja
dapat dijalankan dengan mempergunakan teknologi modern sehingga dapat
ditingkatkan produktivitas kerja manusia.
Manusia sebagai HOMO RELIGIUS
Artinya manusia menyadari adanya kekauatan ghaib yang memiliki kemampuan
lebih hebat daripada kemampuan manusia, sehingga menjadikan manusia
berkepercayaan atau beragama. Dalam tahap awal lahir animisme, dinamisme, dan
totenisme yang sekarang dikategorikan sebagai kepercayaan, kadang-kadang
dikatakan sebagai agama alami. Kemusian lahirlah kepercayaan yang disebut
sebagai agama samawi yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, percaya kepada
nabiNya, dan kitab suciNya yang dipergunakan sebagai pedoman.
Manusia sebagai HOMO HUMANUS dan HOMO AESTETICUS:
Artinya manusia berbudaya, sedangkan homo aesteticus artinya manusia yang
tahu akan keindahan. Dari perbedaan-perbedaan yang sedemikian banyak makin
nyata bahwa manusia memang memilki sifat-sifat yang unik yang jauh berbeda dari
pada hewan apalagi tumbuhan. Sehingga manusia tidak dapat disamakan dengan
binatang atau tumbuhan
Dalam manusia curiosity (rasa ingin tahu) tidak idle, karena pikiran
manusia berkembang dari waktu kewaktu rasa ingin tahunya atau pengetahuannya selalu
bertambah sehingga terjadi timbunan pengetahuan . Jadi pengetahuannya tidak
idle, sedemikian rupa terjadilah perkembangan akal manusia sehingga justru daya
pikirnya lebih berperan dari pada fisiknya. Dengan akal tersebut manusia
memenuhi tujuan hidupnya disamping untuk melestarikan hidup untuk memenuhi
kepuasan hidup serta juga untuk mencapai cita-cita.
Manusia selalu ingin tahu dalam hal apa sesungguhnya yang ada (know what),
bagaimana sesuatu terjadi (know how), dan mengapa demikian (know why) terhadap
segala hal. Orang tidak puas apabila yang ingin diketahui tidak terjawab.
Keingintahuan manusia tidak terbatas pada keadaan diri manusia sendiri atau
keadaan sekelilingnya, tetapi terhadap semua hal yang ada di alam fana ini
bahkan terhadap hal-hal yang ghaib.
Tingkat hubungan manusia dengan alam:
Pertama adalahmanusia yang masih sangat tergantung dengan alam, sehingga
ada kesan bahwa ia adalah bagian dari alam. Manusia dalam tingkat demikian
disebut sebagai manusia alam (natural man). Yang hidupnya bergantung pada
pemberian alam (food gathering). Segala keperluan hidupnya dipenuhi dengan
jalan meramu untuk memenuhi kebutuhan primernya, berupa sandang, papan, dan
pangan. Manusia alam masih menganut apa yang disebut sebagai agama alam
animisme, dinamisme, aau totenisme.
KeDua, adalah manusia yang sudah menguasai alam, sehingga ada kesan manusia
sebagai raja dunia. Manusia pada tingkat demikian disebut sebagai manusia
budaya (cultural man) yang hidupnya dilakukan dengan cara menghasilkan apa yang
dibutuhkan (food producing). Pada awalnya food producing masih berkaitan dengan
alam, seperti bercocok tanam, memelihara ternak, yang merupakan tingkat primer.
Kemudian diusahakan jasa sebagai sumber kehidupan yang lebih banyak hasilnya
dan merupakan tingkat sekunder dalam food producing. Manusia juga dikenal
sebagai pencipta kedua (second creator). Banyak hal yang ada dalam alam berubah
karena kemampuan manusia mencipta.
Rasa ingin tahu manusia berasala dari ingin mengenal dirinya sendiri, yang
akhirnya disadari bahwa dirinya terdiri atas dua unsur yaitu rohani dan
jasmani. Roh diketahui ada dalam tubuh manusia berdasarkan pengalaman dan
pengertian tentang mimpi serta kenyataan bahwa orang akan meninggal dan tubuh
akan membusuk. Manusia percaya bahwa Roh akan abadi.
Perkembangan selanjutnya adalah keingintahuan manusia pada alam sekitarnya.
Dengan kemampuan bahasa manusia berkomunikasi dan bertukar pengalaman tentang
segala hal yang ada di alam serta kegunaannya bagi manusia. Meskipun demikian
manusia masih mempunyai keterbatasan misalnya keterbatasan manusia dalam
melihat, mendengar, berpikir dan merasakan. Untuk itulah manusia berusaha
menciptakan alat yang dapat membantu mengatsi keterbatasan tersebut. Dengan
peralatan tersebut, memang dapat mengetahui apa yang terkandung di dalam alam,
tetapi sebagian besar masih merupakan teka-teki.
Mitos dan mitologi, mitos adalah cerita rakyat yang dibuat-buat atau
dongeng yang ada kaitanya dengan kejadian, gejala yang terdapat di alam,
seperti tokoh, pelangiaaaaaaaaaaaaaa, petir, gempa bumi, dan manusia perkasa.
Cerita tersebut dimaksudkan untuk menjawab keterbatasan pengetahuan manusia
tentang alam. Mitologi berarti pengetahuan
tentang mitos. Mitologi merupakan kumpulan cerita-cerita mitos, banyak muncul
pada zaman prasejarah, yang disampaikan dari mulut kemulut atau secra lisan.
Secara garis besar mitologi dapat dibedakan menjadi tiga macam, mitos
sebenarnya, cerita rakyat dan legenda.
Mitos sebenarnya adalah manusia dengan imajinasinya berusaha secara
sungguh-sungguh menrangkan gejala alam yang ada, namun usahanya belum dapat
tepat karena kurang memiliki pengetahuan sehingga untuk bagian tersebut orang
mengaitkannya dengan seorang tokoh, dewa, atau dewi.
Tujuan manusia menciptakan MITOS,
karena pada saat itu penduduk masih dalam tingkat mistis peradabannya.
Mereka percaya akan adanya kekuatan-kekuatan gaib yang melebihi kekuatan
manusia biasa. Dalam zaman demikianlah, mitos dipercayai kebenarannya karena
beberapa faktor.
PERTAMA, karena keterbatsan pengetahuan manusia
KEDUA, karena keterbatsan penalaran manusia
KETIGA, karena keingintahuan manusia untuk sementara telah terpenuhi. Telah
dikemukakan bahwa kebenaran memang harus dapat diterima oleh akal, tetapi
sebagian lagi dapat diterima secara intuisi, yaitu penerimaan atas dasar kata
hati tentang sesuatu itu benar. Kata hati yang irasional dalam kehidupan
masyarakat awam sudah dapat diterima sebagai suatu kebenaran (pseudo science),
kebenaran dan hasaratnya ingin tahu sudah terpenuhi,paling tidak untuk
sementara waktu.
Manusia berpikir rasional:
Rasional adalah menerima sesuatu atas dasar kebenaran pikiran atau rasio.
Pham tersebut bersumber pada akal manusia yang diolah dalam otak. Dengan
berpikir rasional, manusia dapat meletakkan hubungan dari apa yang telah
diketahui dan yang sedang dihadapi. Kemampuan manusia mempergunakan daya
akalnya disebut inteligensi, sehingga dapat disebutkan adanya manusia yang
mempunyai intelegensinya rendah,, normal dan tinggi. Dalam perkembangan sejarah
manusia, terdapat kesan bahwa pada mulanya perasaan manusialah yang lebih
berperan dalam kehidupannya, sehingga timbul kepercaayaan atau agama dan rasa
sosial. Dengan makin banyaknya persoalan yang harus dihadapi, manusia makin
banyak mempergunakan akalnya dan kurang mementingkan perasaan.
Cara manusia memperolah pengetahuan pada zaman dulu,
Yaitu dengan mengandalkan perasaan daripada kebenaran pikiran antara lain
dengan prasangka, intuisi, dan main coba-coba.
Memperoleh pengetahuan dengan prasangka berrati sebelum menyangka, dengan
belum terjadinya sesuatu secara pasti orang dapat menyangka bahwa sesuatu hal
ada kemungkinan benar. Sangkaan masih banyak mempergunakan perasaan daripada
pikiran dan belum ada bukti-bukti kebenarannya. Sebagai contoh, dugaan orang
Babilonia tenatang terjadinya hujan yang menyangka bahwa hujan turun dari
langit karena atap dunia (langit) yang bocor.
Memperoleh pengetahuan dengan intuisi,
Intuisi adalah pandangan bathiniah tnapa urutan pikiran, dengan serta merta
pandangan tersebut tembus mengenai suatu peristiwaatau atau kebenaran atau
dapat disebut ilham. Intuisi tanpa diiringi proses berpikir sebelumnya, sering
dalam keadaan setengah sadar, samar-samar, namun tiba-tiba dan pasti
memunculkan suatu keyakinan yang tepat. Unsur kepastian intuiosi mirip insting
dan pengertian terhadap kebenaran perlu prasangka sendiri. Biasanya wanita
mempunyai logika berpikir intuitif yang dadapt diterima oleh akal namun belum
tentu benar.
Memperoleh pengetahuan dengan trial dan error
Trial dan error adalah cara memperoleh pengetahuan dengan coba-coba dan
berharap-harap, mudah-mudahan dapat memperoleh hasil yang mendatangkan
keuntungan. Cara ini jauh lebih maju dibandingkan kedua cara diatas walaupun
sering salah, namun orang sudah melakukan percobaan seperti dalam metode
ilmiah. Hanya karena kurang penegertian dan pengalaman, orang melaukan
coba-coba, biasanya diawali dengan penemuan-penemuan yang diperoleh secara
kebetulan.
Logika dan pengetahuan
Logika dalah pengetahuan dan kecakapan untuk berpikir dengan lurus, tepat
dan sehat. Dalam mempergunakan logika manusia mengenal logika kodratih dan
logka ilmiah. Logika kodratiah merupakan cara berpikir secara spontan dalam
menanggapi atau memecahkan suatu persoalan. Logika ilmiah dapat memperhalus dan
mempertajam pikiran dan akal budi, sehingga hasil pemikirannya dapat
benar-benar lurus, tepat, dan sehat sehingga terhindar dari kesesatan.
ALAM, LOGIKA DAN MANUSIA
Car a yang umum dipergunakan dalam logika adalah silogisme
Silogisme adalah pengambilan keputusan atau kebenaran yang disimpulkan dari
dua premis. Dikenal dua premis, yaitu mayor dan minor. Dari premis mayor orang
memperoleh kebenaran yang sifatnya khusus, sedangkan dari premis minor
seseorang memperoleh kebenaran yang sidatnya umum. Dari kedua kebenaran
tersebut dapat ditarik sebuah kesimpulan kebenaran. Contohnya :
Pemis mayor: semua orang pasti akan mati;
Premis minor: Ahmada dari orang;
Kesimpulan: Ahmad pasti akan mati.
PANDANGAN MANUSIA TERHADAP ALAM
Pandanagan Antroposentris;
Antroposnetris (antropo= manusia, sentris = pusat) adalah anggapan bahwa
manusia menjadi pusat segala-galanya.
Pandangan Geosentris;
Geosentris (geos=bumi) adalah pandangan bahwa bumi menjadi pusat alam
semesta dan semua benda langit mengelilingi bumi, dikemukakan oleh Ptolomues
(abad 6 SM), yang didukung oleh Thales (624-548 SM)’ dia yang mengemukakan
pedoman pelayaran bagi pelaut Yunani dengan menentukan bintang kutub. Menemukan
ada 4 musin dalam 1 tahun. Anaximander (610-546 SM), mengemukakn bahwa langit
berputar dengan poros bintang kutub. Ilmuwan yang mendukung:
Phythagoras (580-500 SM), terkenal dengan dalilnya segitiga siku-siku
(Dalil Phytagoras, a2=b2+c2) dan jumlah sudut segitiga adalah 180 drjt.
Erasthothenes (276-195 SM), orang pertama yang menghitung ukuran bumi
adalah bulat, dengan mengukur peredaran matahari dari Seyne (Mesir) ke
Iskandariah, dan ditekukan bahawa ukuran keliling bumi adalah 36.000 km,
sedikit meleset karena ukuran bumi sebenarnya adalah 40.000 km.
Pandangan Heliosentris:
Helios=matahari, jadi pandangan heliosentris adalah anggapan bahwa alam
smesta adalah matahari. Pendapat ini merupakan perubahan drastis dari pendapat
geosentris sepeti yang dikemukakan Ptolomeus. Sampai sekarang paham ini masih bertahan sebagai salah satu kebenaran.
Ilmuwan yang terlibat:
Nicholaus Copernicus, (1473-1543) seorang Polandia dalam bukunya ”De
Revolutionibus Orbium Caelestium” artinya Revolusi peredaran Benda-benda
langit, diletakkan dasar pengertian Heliosentris. Bulan mengelilingi bumi
dabsecar
.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kebudayaan adalah salah satu istilah teoritis
dalam ilmu-ilmu sosial. Secara umum, kebudayaan diartikan sebagai kumpulan
pengetahuan yang secara sosial diwariskan dari satu generasi ke generasi
berikutnya.
Dari
pembahasan diatas kami dapat simpulkan bahwa manusia berhubungan erat dengan
kebudayaan yang ada pada lingkungan sekitarnya. Karena kebudayaan tersebut
merupakan cara beradaptasi untuk mengatur hubungan antar manusia sebagai wadah
masyarakat menuju taraf hidup tertentu.
Kebudayaan berpengaruh dalam membentuk pribadi seseorang sehingga mengharuskan
manusia untuk mengikuti norma-norma yang ada pada budaya tersebut.
Dengan
demikian, budaya patokan cara hidup manusia di tempat dia berada. Selain itu
dalam kebudayaan mengajarkan tentang keimanan
3.2 Saran
Kita sebagai mahluk berbudaya semestinya melestarikan budaya yang kita punya,
jangan sampai budaya yang kita punya tidak kita lestarikan dan sampai punah. Karena
siapa lagi jika bukan kita penerus bangsa yang melestarikan?
Kita lestarikan baik-baik budaya yang telah kita punya agar tidak diakui oleh
bangsa lain.
Daftar Pustaka
Spiro,
M.E (1987) Culture and Human Nature, Chocago
Schneider,
D. (1968) American Kinship : A Cultural Account, Englewood Cliffs, NJ.
Geertz,
C. (1973) The Interpretation of Culture, New
York .
Malinowski,
B (1922) Argonouts of The western Pasific, London .
Benedict.
R (1934) Pattern of Culture, Boston ,
MA .
D’Andrade,
R, Culture dalam Jessica Kuper, & Adam Kuper,, Ensiklopedi Ilmu-ilmu
Sosial, 2000
Swartz,
M. (1991) The Way The World is : Cultural Processes and Sosial Relations among
the Mombassa Swahili, Berkeley ,
CA .
D’Andrade,
R, Ibid
Selo
Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, Setagkai Bunga Sosiologi, edisi pertama,
yayasan Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia 1964, hal 155
Kluckhohn
C, dalam Soerjono Soekanto, Sosiologi suatu pengantar, edisi ke-4, Rajawali
Pers, 1990
Linton,
R, A Study of Man, an introduction, Appleton Century-Croft. Inc., New York , 1936, hal 397
Saiful
Arif, Kompas, Jum’at 17 Februari 2006, HTML
Franz
Magnis Suseno, Filsafat Kebudayaan Politik, butir-butir Pemikiran Kritis, PT
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 1992, hal 29-30
Ibid,
Hal 51
Google.com
0 comments:
Post a Comment